Tempat Pulang Gadungan
Oleh: Zarkasih Imam | 28/09/2025|Cirebon
Rana hanya menyelami perasaannya, murung menutup diri dari hiruk pikuk kehidupan. Ia meratapi dari jengkal demi jengkal reka kejadian antara Ayah dan Ibunya. Rumah tempat ia berpulang kini seperti makam yang tak bertuan. Begitu angker dan menyeramkan, hampir setiap waktu ia mendengar jeritan, erangan dan suara-suara peralatan dapur yang mendarat bagai genderang perang. Suara-suara itu telah menggantikan gelak tawa dan kehangatan meja makan.
“Kamu yang tidak becus mengurus rumah.” Kalimat itu menembus dinding tembok kamar Rana dari umpatan Ayahnya kepada istrinya.
Rana menutup rapat telinganya dengan buku yang tengah ia baca, seketika kakinya ia himpitkan kebadanya, rapat tak bercela.
“Kamu pikir saya pembantu di rumah ini. Jawab! Semalam kamu tidur dimana?” tegas Ibu Rana menanyakan suaminya.
Rana semakin menekan buku itu ke telinganya. Bayang-bayang masa kecilnya melintas, mengitari kepalanya. Betapa bahagianya saat ia kecil memiliki kedua orang tua yang saling sayang, di malam yang dingin mereka saling menghangatkan, di meja makan saling suap, saat ibunya sedang menyiram tanaman, ayahnya dari belakang menjailinya. Gelak tawa saling menertawakan.
- Tokoh Pemuda Losari Menanyakan Urgensi Pemekaran Cirebon Timur
- Menunggu di Ujung Kata Aishiteru
Saat diantara salah satunya sakit hati mereka tidak tentram, resah tak henti mengingtkan untuk segera minum obat. Tapi sekarang, mereka tidak beda jauh dengan orang tua lainya. Bertengkar, saling tuduh, saling mencari kesalahan, cerai dan ujung-ujungnya anak yang menjadi korban. Anak di titipkan kepada neneknya.
“Jawab!” layaknya sebuah tabrakan mobil yang menghantam trotoar, suara itu terdengar keras tanpa ampun. “Jangan diam saja!” tegas ibu Rana.
Suara yang menggelegar itu meracuni bayangan Rana. Ingatan indah itu seketika sirna tak tersisa.
“Percuma kalaupun aku menjawabnya, kamu tidak akan percaya!”
“Aaaaaaaagh,” erangan dengan dua tangan yang mendarat bergantian, memukul-mukul dada pria yang tengah tertuduh itu, tanpa henti.
Ayah Rana yang tidak kuasa merasakan perlakuan istrinya, ia meraih tangan istrinya dengan mata yang tajam. Sekuat tenaga ia mencoba menghentikan pukulan yang terus menerus mendarat di dadanya, “cukup, sudah cukup!”
Ibu Rana meronta “Lepas! Dasar bajingan,” Umpat Ibu Rana, derai air matanya teramat deras. Pipi itu yang biasa meneriam ciuman dari suamainya kini kuyup oleh air matanya.
Mendengar umpatan itu Ayah Rana langsung melemparkan kedua tangan istrinya dengan sekuat tenaga. “Praaaaaaang!” meja kaca yang tidak tahu menahu pecah dibuatnya, ibu Rana terpental menghantam meja kaca itu.
“Cukuuuuup!” teriak Rana menggema kesluruh ruangan.
Kedua mata orang tua Rana terbelalak melihat anak semata wayang yang ia sayangi kini berteriak di hadapan mereka berdua. Ibu Rana bergegas bangun, dengan panik ia membersihkan baju yang penuh pecahan kaca dan langsung menghampiri Rana.
“Sayang, tadi ibu tersandung dan jatuh menimpa meja itu,” kedua tangan Ibu Rana meraih kedua pipi anaknya dengan mata yang berkaca-kaca.
Rana menatap tajam, mata yang penuh amarah itu terus memandang ayahnya, sedang tubuhnya membeku. Melihat tatapan itu Ayah Rana menghampiri anaknya dan meraih tangannya.
“Betul apa yang dibilang Ibu, ini semua bukan seperti apa yang kamu pikirkan,” Ayah Rana memelas, “oh, iya papa sudah bawakan makanan kesukaan kamu, sayang.”
Rana mengibaskan tangannya yang tengah dipegang oleh ayahnya. Ayah Rana memandangi tanganya yang terusir, alisnya meruncing, nafasnya terengah, tubuhnya lunglai.
Sedang tangan kiri Rana mengehmpaskan kedua tangan ibunya menajuh dari pipinya. Tangan Ibunya mencoba kembali meraih pipi Rana, ia menagkisnya. Ibu Rana tidak bisa berbuat apa-apa hanya membeku dengan mata terbelalak.
“Tidak usah lagi berpura-pura baik-baik saja,” wanita muda yang berkulit putih langsat itu perlahan mengalirkan air matanya.
Mendengar anaknya berkata demikian mereka seakan tersambar petir, matanya terbelalak, tubuhnya kaku, mulut yang sejak tadi seperti kicau burung mendadak saling terkunci.
“Selama ini Rana hanya diam saja mendengar pertengkaran ayah sama ibu, karna Rana percaya Ibu sama Ayah bisa melewati semua ini dan bisa menyelasaikannya. Tapi hari ini Rana kecewa dengan Kalian!” Bibir Rana bergetar menahan amarahnya.
“Sayang dengar ibu,” ujar ibu Rana
“Rana, Ran.” Sambung ayah Rana.
Tanpa kata Rana meninggalkan mereka berdua, masuk ke dalam kamar, membanting daun pintu yang terbuat dari kayu itu. Suaranya menggelagar membuat ayah dan ibunya kaget tak percaya.
“Ran, Rana. Dengar Ibu sayang, buka pintunya.”
Rana tidak menggubris, Tas yang sedari tadi terdiam tidak lama berselang sudah berpindah tempat, dia atas kasur. Rana membanting tas itu dengan kesalnya.
“Tok, tok, tok!” terdengar suara pintu, “Sayang, ayah janji ini tidak bakal terulang lagi.”
“Diam!, urus saja urusan kalian.” Pekik Rana yang tengah sibuk mengemas bajunyan ke dalam tas.
Buku yang tersusun rapih diatas rak buku, Rana memilah, sebuah buku filsafat “Dunia Shopie” ia masukan ke dalam tas. Buku catatan sebesar buku tulis tak luput ia kemas, satu tempat dengan buku tersebut. Sebuah kamera Gopro dan Cannon D5000, pemeberian ayahnya saat ia mulai sekolah SMA pun menyertai barang lainya, tas sepanjang punggungya, sebesar badanya kini telah penuh.
“Rana buka pintunya, sayang,” pinta ayah Rana.
“Semua ini gara-gara kamu,” pekik Ibu Rana ke arah suaminya.
“Kok, kamu nyalahin aku. Kamu yang memulai duluan. Kalau saja kamu tidak curiga melulu semua ini tidak akan terjadi,” jawab Ayah Rana tidak kalah.
“Oooh,” dua tangan Ibu Rana bertolak pinggang, dengan muka masam dan mata yang menyala, “Jadi aku harus percaya gtu aja. Kamu pikir aku wanita bodoh, seperti wanita-wanita lain yang kamu dekati. Hah! Begitu maksudmu!”
“Cukup!” mata yang merah, bibir yang bergetar, memkik keras. “cemburu butamu yang membuat anak kita berani bicara kasar………..”
“Braaaaaag!” suara daun pintu terbuka dengan kasar.
“Kalian sama saja!” ujar Rana dengan suara lantang dan berlalu meninggalkan mereka berdua.
“Sayang kamu mau kemana?” tanya Ibu Rana dengan lirih meraih tangan Rana.
“Jika kamu marah pukul saja ayah, tapi kamu jangan pergi yah, sayang.” Ayah Rana pun sama memelasnya.
“Harusnya dari dulu aku pukul, bukan Rana tapi aku yang akan memukul.” Pekik Ibu Rana membalas ucapan suaminya.
Tanpa kata Rana menghempaskan tangan Ibunya yang sedari tadi menggenggamnya dan langsung berlalu.
- Absen Nomor 18 : Luna Raisa Putri
- SMA N 1 Losari Gelar Pelatihan Jurnalistik: Menyalakan Api Literasi dari Kelas ke Kelas
Ayah Rana segera mengejarnya dan memanggil-manggil nama anaknya, “Rana, Rana!” tangan Rana diraih oleh ayahnya, “tunggu sebentar sayang,” Ayah Rana menggambil dompet dari balik sakunya. “ini sayang. Buat bekal kamu,” uang itu ia letakkan ditangan Rana, “jangan lupa kabari ayah lokasi kamu,”
Dengan tangan yang bergetar Rana meremas uang yang diberikan ayahnya. Deraian air mata bertumpah ruah seperti hujan di bulan Desember. Segera Ayah Rana menyeka air mata yang tak jua berujung, membekas laksana kristal di pipi yang tiada habis ia cubit sewaktu kecil.
Rana berlalalu membawa amarah bersama hati yang gundah seperti putus cinta dipengalaman pertama.
Deru suara motor Cafe Racer memecah kehampaan hati Rana. Suaranya mengelegar meninggalkan pelataran rumah yang rindang di penuhi pepopohanan hias yang tertata rapih.
Batu alam yang mengitari tiap tanaman menghidupkan suasana. Rumput jepang yang subur terhampar di samping jalan utama menuju rumah. Suara pintu gerbang berbunyi riuh rendah, sorang petugas keamanan rumah segera membukanya. Bunyi klakson pun tidak lupa Rana nyalakan, tanda perpisahan dengan Bapak petugas keamanan. Rana bergegas meninggalkam tempat ia berpulang.
“Puas, kamu! Puas!” gemuruh suara Ibu Rana, bagai deru ombak mengahantam karang. Ia memekik.
Mata Ayah Rana melotot tajam, dadanya berdegup kencang.
“Mati-matian aku kerja menghidupi kamu. Susah payah memberikan kehidupan layak untuk kamu. Dan ini balasannya?…….” Ayah Rana terdiam sejenak, “Terlalu kamu, Ning!” suaranya berat.
“Oh, sekarang mengungkit,” kedua tangan Ibu Rana di letakan dipinggang dengan tubuh yang melawan, “Baik, aku akan menghidupi diriku sendiri. Tanpa bantuan sepserpun dari kamu. Biar gundik-gundikmu puas menikmati seluruh hartamu!”
“Capek aku meladeni kamu!”
“Dan kamu tidak capek meladeni Gundik-Gundimu?”
Ayah Rana berlalu meninggalkan istrinya, masuk ke dalam rumah yang tidak lagi nyaman menjadi tempat pulang.
“Aku akan buktikan!” teriak Ibu Rana.


