Rasa Kita

Sunyi yang Tidak Sia-Sia: Tentang Mereka yang Melawan Tanpa Teriak

Oleh : Saddam |  04  Agustus 2025

Beberapa orang melawan dengan orasi.
Yang lain memilih diam—bukan karena takut, tapi karena tahu: suara mereka tak akan dipahami di tengah keramaian.

Ada yang tetap duduk di ruang rapat, meski tak sepaham dengan arah pembicaraan.
Ada yang menyetujui aturan, lalu secara diam-diam mengubahnya dari dalam.
Ada yang disangka patuh, padahal sedang menanam benih perlawanan paling sabar.

Mereka itu ada.
Mungkin teman sekantor.
Mungkin kamu.
Mungkin AKU.

Tidak semua perlawanan butuh panggung.
Ada perlawanan yang hidup dalam kepala, tiap malam, ketika kamu bertanya:
“Apa aku masih bisa jadi diriku di tengah semua ini?”

Dan setiap kamu memilih “iya”, meski samar dan ragu, itulah bentuk keberanian yang dunia sering lewati.

Kadang, kamu memilih tetap di sistem karena tahu:
Jika semua orang idealis memilih keluar, maka tak akan ada yang menjaga yang tersisa.

Jadi kamu bertahan.
Bukan karena setuju, tapi karena sadar:
Butuh satu orang waras di ruang yang terlalu banyak tepuk tangan palsu.
Butuh satu orang sadar di tengah kompromi yang melumpuhkan nurani.

Dan kamu jadi orang itu.
Sunyi, sendiri, tapi sadar kamu dibutuhkan.
Bukan untuk jadi pahlawan. Tapi agar sistem tak sepenuhnya gelap.

Kamu melawan dengan catatan kecil yang kamu simpan sendiri.
Dengan menyisipkan nilai dalam pekerjaan yang dianggap formalitas.
Dengan menghindari drama, tapi tetap memegang prinsip.
Dengan menjadi baik di tempat yang pura-pura peduli.

Kamu tahu kamu sendirian. Tapi kamu juga tahu: bukan berarti sia-sia.

Tidak semua perlawanan harus menggelegar.
Ada yang cukup dengan kamu bertahan jadi dirimu sendiri, hari ini.

Kamu tidak sedang kalah.
Kamu sedang sabar.
Dan dalam dunia yang terlalu bising, sabar juga bentuk revolusi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *