Rasa Kita

Pendidikan Kita: Makin Kesini, Makin Kesana

Oleh : Ian | 26 Juli 2025

Jika pendidikan dibangun di atas pasar, maka murid menjadi konsumen, guru menjadi tenaga jasa, dan sekolah menjadi etalase produk.”

Dunia pendidikan kita sedang kebingungan arah. Makin kesini, makin kesana. Seolah sedang berjalan, tapi tanpa peta. Satu-dua langkah memang terasa progresif, tapi banyak pula langkah yang justru membingungkan.

Sekolah: Dari Lembaga Pendidikan ke Etalase Konsumtif

Dulu, sekolah adalah ruang belajar. Hari ini, sekolah lebih mirip toko swalayan. Mulai dari bentuk bangunan, branding media sosial, hingga konten video yang dibuat guru dan murid, semua diarahkan untuk satu tujuan: menarik minat “konsumen”—alias calon siswa dan orang tuanya.

Promosi menjadi segalanya. Kelas-kelas yang tak punya fasilitas tetap dipoles secara digital. Program ekstrakurikuler dikemas seperti paket liburan. Guru-guru berlomba membuat konten, bukan untuk memperdalam ilmu, melainkan agar algoritma media sosial mengangkat nama sekolah mereka.
Ketika pendidikan tunduk pada logika pasar, maka nilai pendidikan pun ikut dikomodifikasi.

Dan inilah yang menyedihkan: kompetisi antar sekolah bukan lagi soal kualitas pendidikan, tapi soal performa marketing.

Pasar Pendidikan dan Tekanan Gimmick

Sektor pendidikan hari ini diatur oleh dinamika demand & supply. Semakin banyak sekolah, semakin sengit kompetisi. Terutama sekolah swasta dan sekolah negeri “unggulan” yang harus terus mendapat murid agar tetap eksis. Maka muncullah strategi-strategi promosi yang tak jarang melewati batas: dari diskon biaya masuk, pemberian hadiah, hingga video TikTok guru dengan jargon-jargon lucu.

Apakah ini salah? Tidak semata-mata. Tapi ketika strategi pasar menggantikan orientasi nilai, maka kita kehilangan prinsip. Pendidikan bukan lagi proses, tapi produk.

Dan guru? Mereka jadi “karyawan” dalam sistem ini. Mereka didorong untuk kreatif, tapi hanya dalam bingkai “branding”. Mereka diminta aktif di medsos, bukan karena pedagogis tapi karena “rekrutmen siswa butuh exposure”.

Krisis Guru dan Kegagalan Sistem Produksi Pendidik

Di tengah semua ini, kita menghadapi krisis pendidik. Bukan karena guru tidak mau mengajar, tapi karena banyak dari mereka memang tidak pernah dipersiapkan untuk itu. Kampus pencetak guru gagal membekali lulusannya dengan kompetensi substantif. Praktik mengajar formalitas. Penguasaan literasi pedagogis rendah. Seleksi masuk longgar. Proses pendidikan dangkal.

Kita mencetak guru seperti mencetak produk cepat saji—asal jadi, asal lulus, asal dapat gelar S.Pd/S.Pd.I. Maka tak heran jika begitu mereka masuk ke sekolah, banyak dari mereka lebih percaya diri bikin konten dari pada mengajar. Karena dunia nyata tak pernah mereka hadapi selama kuliah.

Ironisnya, negara tahu ini. Tapi sistem dibiarkan berjalan. Karena kampus juga butuh mahasiswa untuk bertahan hidup. Dan ketika pendidikan guru tunduk pada pasar, maka guru bukan lagi profesi suci, melainkan pekerjaan kompromi.

Antara Zaman Dulu dan Sekarang: Apa yang Hilang?

Zaman dulu, guru adalah tokoh masyarakat. Dihormati karena ilmunya, diteladani karena sikapnya. Bahkan seorang guru yang hidup sederhana tetap dipandang tinggi karena integritas dan peran sosialnya.
Hari ini, status sosial guru makin luntur. Apalagi guru honorer yang digaji rendah, dibebani tugas administratif, dan masih dituntut jadi “influencer” sekolah.

Bukan karena mereka berubah, tapi karena sistem memaksa mereka berubah. Zaman berubah, iya. Tapi perubahan tidak boleh berarti kehilangan esensi. Guru tetap harus menjadi sumber nilai, bukan sekadar sumber daya.

Penutup: Menyusun Ulang Arah,

Pendidikan kita sedang kacau bukan karena guru berjoget di TikTok, tapi karena sistem pendidikan yang membingungkan
Ini bukan soal etika konten semata, tapi soal kegagalan kita membangun ekosistem pendidikan yang menghargai pendidik sebagai penggerak peradaban, bukan sebagai penghibur algoritma.

Maka, kalau kita ingin menyelamatkan pendidikan, kita harus mulai dari hulu: Reformasi besar-besaran kampus pencetak guru: seleksi ketat, kurikulum bermakna, praktik mengajar riil, dan pengawasan ketat mutu dosen. Perlindungan dan penguatan profesi guru: pelatihan yang relevan, perlakuan adil, dan ruang inovasi berbasis nilai. Redefinisi sekolah: bukan sebagai etalase produk, tapi sebagai ruang hidup yang membangun manusia utuh. Negara hadir bukan hanya sebagai regulator PPDB, tapi sebagai penjaga nilai pendidikan.

Jika hari ini guru lebih sibuk membuat konten daripada membangun karakter murid, maka kita harus bertanya:
Siapa yang mengubah pendidikan menjadi panggung hiburan?
Dan lebih penting lagi: Apakah kita akan terus membiarkannya?

Satu Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *