Rasa Kita

Orang Tua dan Sekolah: Dua Pilar Utama Peningkatan Literasi Anak di Indonesia

Literasi bukan cuma soal bisa membaca. Ini soal bagaimana anak-anak kita memahami dunia, berpikir kritis, dan menemukan suara mereka sendiri. Tapi di Indonesia, jalan menuju literasi masih penuh tantangan—dan jawabannya tidak bisa diserahkan hanya pada sekolah, atau hanya pada rumah. Karena literasi yang kuat hanya bisa tumbuh jika dua pilar utamanya—orang tua dan sekolah—saling menopang, bukan saling menyalahkan.

Oleh : Ian| 22 Juni 2025

Wajah Literasi Kita: Lebih dari Sekadar Ranking

Tahun 2022, PISA (Programme for International Student Assessment) kembali merilis hasil penilaian global kemampuan membaca siswa. Indonesia? Peringkat 70 dari 81 negara.
Lebih dari 70% siswa Indonesia berusia 15 tahun berada di bawah standar minimum kemampuan membaca.
(OECD, 2023)

Tapi krisis ini tidak berhenti di angka. Kita bisa melihat wajah nyatanya di sekitar:
Anak-anak yang enggan membaca buku karena kalah seru dibanding TikTok.
Guru-guru yang kewalahan mengejar kurikulum.
Dan orang tua yang merasa membaca itu tugas sekolah.

Padahal literasi bukan cuma tentang mengenali huruf atau membaca cepat. Ini tentang memahami, merespons, dan merefleksikan. Tanpa itu, anak-anak kita tidak hanya sulit belajar, tapi juga mudah termakan hoaks, bingung menghadapi informasi, dan kesulitan mengambil keputusan.

Di Mana Akar Masalahnya?

Isu literasi di Indonesia bukan soal tunggal. Ini soal budaya, akses, sistem pendidikan, dan dukungan keluarga yang belum selaras.

1. Minimnya Akses dan Ketimpangan Fasilitas

Perpusnas (2022) mencatat bahwa jumlah perpustakaan desa dan ketersediaan bahan bacaan masih timpang dibandingkan populasi. Buku masih jadi barang mahal di banyak daerah.

2. Kebiasaan Membaca yang Tidak Terbentuk Sejak Kecil

Hanya 3 dari 10 anak usia dini yang dibacakan buku oleh orang tuanya setidaknya seminggu sekali. Padahal membacakan buku sejak dini sangat berpengaruh pada perkembangan bahasa dan imajinasi.
(UNICEF Indonesia, 2021)

3. Metode Mengajar yang Kurang Kontekstual

Banyak guru mengajarkan membaca sebagai keterampilan teknis. Padahal literasi seharusnya juga mengajarkan cara berpikir: memahami, menganalisis, menulis, dan berdiskusi.

4. Digitalisasi Tanpa Pendampingan

Anak-anak bisa scrolling dengan lincah, tapi mudah tersesat di tengah informasi. Literasi digital belum jadi bagian kuat dari pembelajaran.

Dua Pilar Utama: Orang Tua dan Sekolah

Meningkatkan literasi anak bukan tugas kurikulum, melainkan tanggung jawab bersama. Dua kekuatan yang paling menentukan ada di rumah dan di ruang kelas.

🏠 Orang Tua: Menanam Benih di Rumah

Rumah adalah ruang belajar pertama. Di sinilah anak belajar mendengar cerita, melihat contoh, dan merasakan makna kata. Tapi banyak orang tua merasa tidak “cukup pintar” untuk mendidik soal literasi. Padahal yang dibutuhkan bukan keahlian, tapi kedekatan.

Apa yang bisa dilakukan orang tua?

  • Luangkan 10–15 menit membacakan cerita setiap malam

  • Ajak anak bercerita ulang dengan bahasa mereka sendiri

  • Libatkan anak dalam aktivitas sehari-hari yang penuh bahasa: belanja, memasak, jalan sore sambil ngobrol

  • Literasi bukan dibentuk dengan perintah. Tapi dengan kebiasaan yang hangat.

🏫 Sekolah: Menyediakan Struktur dan Ruang Aman

Sekolah memegang peran strategis: mengarahkan, menguatkan, dan memperluas. Tapi pendekatan mengajar harus bergeser dari textbook-centric ke student-centric. Literasi bukan hanya pelajaran Bahasa Indonesia, tapi bisa menyatu di Matematika, IPA, bahkan Seni.

Apa yang bisa dilakukan sekolah dan guru?

  • Membuat proyek membaca lintas pelajaran

  • Menghubungkan bacaan dengan kehidupan anak

  • Mengadakan sesi refleksi, bukan hanya kuis dan ulangan

  • Melibatkan orang tua dalam proyek literasi sederhana

  • Sekolah bukan tempat transfer ilmu, tapi tempat anak belajar mencintai proses berpikir.

Rekomendasi Aksi Nyata

Untuk keluar dari darurat literasi, kita perlu langkah konkret yang bisa dilakukan hari ini juga:

Orang Tua:

  • “Satu Hari Satu Cerita” — bacakan cerita sebelum tidur

  • Gunakan media sosial untuk berbagi kegiatan membaca keluarga

  • Libatkan anak dalam percakapan yang merangsang pemikiran

Sekolah:

  • Bentuk klub baca atau jurnalis cilik

  • Latih guru secara berkala soal literasi berbasis proyek

  • Kembangkan sudut baca dengan kurasi bacaan yang dekat dengan dunia anak

Pemerintah dan Komunitas:

  • Insentif untuk desa yang aktif mengembangkan taman bacaan

  • Dukungan buku gratis untuk keluarga kurang mampu

  • Program literasi digital yang menyasar anak dan orang tua

Literasi Itu Kerja Sama

Tak ada solusi instan. Tapi jika orang tua, guru, dan komunitas berjalan bersama, anak-anak kita tak harus tumbuh dalam kebingungan informasi. Mereka bisa menjadi generasi yang berpikir kritis, membaca dengan gembira, dan menulis untuk menyuarakan gagasannya.

Karena literasi bukan sekadar kemampuan teknis—ia adalah fondasi masa depan.

Referensi:

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *